Rabu, 13 Juli 2011

 2. Ayat Ke 2

            Kata Al-Insan/manusia terambil dari akar kata uns yang berarti senang, jinak dan harmonis, atau dari kata nis-y yang berarti lupa. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata naus yakni gerak atau dinamika.
           Makna-makna di atas paling tidak memberikan gambaran sepintas tentang potensi atau sifat makhluk tersebut yakni bahwa dia memiliki sifat lupa, dan kemampuan bergerak yang melahirkan dinamika. Ia juga adalah makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang, harmonisme dan kebahagiaan kepada pihak-pihak lain.
           Kata insan menggambarkan manusia dengan berbagai keragaman sifatnya. Kata ini berbeda dengan kata basyar yang juga diterjemahkan dengan ‘manusia’ tetapi maknanya lebih banyak mengacu kepada manusia dari segi fisik serta nalurinya yang tidak berbeda antara seorang manusia dengan manusia lain.
           Kata ‘alaq dalam kamus-kamus bahasa Arab digunakan dalam arti segumpal darah, juga dalam arti cacing yang terdapat di dalam air bila diminum oleh binatang maka dia akan tersangkut di kerongkongannya. Banyak ulama masa lampau memahami ayat ini dengan pengertian pertama. Tetapi ada pula yang memahaminya sebagai sesuatu yang menggantung di dinding rahim. Ini karena pakar embriologi melihat bahwa setelah sperma membuahi ovum ia berproses dan membelah dua, kemudian empat, kemudian delapan dan seterusnya sambil bergerak menuju kantong kehamilan dan melekat berdempet serta masuk ke dinding rahim.
Pemabahasan Penafsiran Ayat   
           Ayat ini menyatakan memperkenalkan Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad saw. Dia adalah Tuhan yang telah menciptakan manusia yakni semua manusia (kecuali Adam dan Hawa) dari segumpal darah atau sesuatu yang disebut ‘alaq. Adapun untuk proses penciptaan manusia kita bisa merujuk kepada surat Al-Mu’minun ayat 12 – 14.

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah (12). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (13). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging. Dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang berbentuk lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang apling baik. (14). 
            Dalam surat at-Tin dikatakan bahwa Manusia adalah makhluk yang memiliki rupa atau wujud yang paling baik:

“Dan  kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya bentuk”
           Manusia adalah makhluk pertama yang disebut Allah dalam Al-Qur’an melalui wahyu pertama. Bukan saja ia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, atau karena segala sesuatu yang diciptakan di alam raya ini diperuntukan olehnya, tetapi juga karena Al-Qur’an ditujukan kepada manusia guna menjadi pelita kehidupannya. Salah satu cara yang ditempuh oleh al-qur’an untuk mengantar manusia menghayati petunjuk-petunjuk Allah adalah memperkenalkan jati diri diri-Nya antara lain dengan menguraikan proses kejadiannya. Ayat kedua surat ini menguraikan kejadin tersebut secara singkat.
           Pengulangan kata Khalaqa pada ayat kedua ini menunjukan penyempurnaan pada ayat pertama. Pada ayat pertama disebutkan bahwa “…. Dengan menyebut nama Tuhanmu yang Maha Pencipta”. Jikalau kita tinjau, ayat pertama menunjukan masih dapat menimbulkan pertanyaan atau rasa penasaran. Jika diuraikan “…. Dengan menyebut nama Tuhanmu yang Maha Pencipta”, maka pertanyaannya adalah apa yang diciptakannya itu?. Maka fungsi dari kata khalaqa ini adalah sebagai penjawab (penyempurna) dari kekurangan atas pertanyaan dari ayat pertama.
           Dalam memperkenalkan perbuatan-perbuatan-Nya, penciptaan merupakan hal pertama yang diperlihatkan oleh Tuhan kepada manusia sebagai bukti keberadaan-Nya. Disini peran akal diperlukan, sebagai makhluk yang diberi anugerah akal, seorang manusia dituntut melalui akalnya untuk bisa mencari siapa yang menciptakan semua makhluk. Apabila akal sudah meyakini bahwa segalanya ada yang mengatur, maka peran hati sebagai wadah iman mensyahadahkan atau membenarkan bahwa semua makhluk ada yang menciptakannya. Perlu digarisbawahi bahwa pengenalan tersebut bukan hanya tertuju kepada akal manusia saja, tetapi juga kepada kesadaran batin dan intitusinya bahkan seluruh totalitas kehidupan manusia6, karena pengenalan akal semata-mata tidak berarti banyak. Sementara pengenalan hati diharapkan dapat membimbing akal dan pikiran sehingga anggota tubuh dapat menghasilkan perbuatan-perbuatan baik serta memelihara sifat-sifat terpuji.

Rabu, 06 Juli 2011

SURAT AL-ALAQ TENTANG KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU

A.   Surat Al-Alaq Ayat 1-5
 “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (1) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmu itu paling pemurah (paling dapat menahan amarah-Nya) (3). Yang mengajarkan manusia melalui perantaraan kalam (4). Dia mengajarkan kepada manusia tentang apa yang belum diketahuinya (5).
B.    Asbabun Nuzul Ayat
                   Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam hadits shahihnya dari Aisyah: “Pada mulanya, Rasulullah menerima wahyu melalui mimpinya yang benar. Setiap beliau bermimpi, pada siang harinya mimpi itu menjadi kenyataan. Mulai dari saat itu, beliau sangat ingin menyendiri (berkhalawat). Beliau pun pergi ke gua Hira yang berada di luar kota Mekkah (sekitar 6 km dari pusat kota), duduk dan bermalam di dalamnya dengan membawa bekal yang diperlukan. Ketika perbekalan habis, pulanglah Nabi ke isterinya, Khadijah, untuk kembali mengambil bekal. Begitu seterusnya hingga Nabi menerima wahyu yang tidak disangka-sangka. Pada saat beliau duduk di dalam gua, datanglah Malaikat Jibril, seraya memerintah Muhammad untuk membaca. “bacalah,”kata Jibril. Nabi menjawab: “aku tidak bisa membaca.” Maka Jibril pun memeluk Nabi erat-erat, sehingga Nabi merasa payah. Setelah melepas pelukannya, Jibril kembali memerintah Nabi untuk membaca, dan Nabi pun menjawab sama: “aku tidak bisa membaca.” Jibril kembali memeluk Nabi dengan erat. Setelah pelukannya dilepaskan, Jibril membacakan lima ayat pertama surat al-alaq ini: iqra, bismi rabbika ladzii khalaq. Khalaqal insaana min ‘alaq. Iqra warabbukal akram. Alladzii ‘allama bil qalam. ‘Alamal insaana maa lam ya’lam.”
                   Para perawi hadits mengatakan bahwa setelah Jibril pergi meninggalkan Nabi, maka Nabi Muhammad segera kembali ke rumahnya dengan tubuh gemetar. Sesampai di rumah, beliau menyuruh Khadijah untuk menyelimuti badannya. Sehingga lenyaplah rasa gemetar tubuhnya. Barulah kemudian Nabi Muhammad mengisahkan apa yang dialami ketika berada di gua.
                   Sesudah beliau menceritakan apa yang beliau alami di gua, Khadijah membawa suaminya itu ke rumah pamannya, Waraqah bin Naufal yang beragama Nasrani pada masa jahiliyah. Waraqah dikenal pandai menulis dengan tulisan Arab dan menulis banyak Injil dalam bahasa Hebrew. Ketika itu dia telah lanjut usia dan buta.
                   Khadijah menuturkan apa yang dialami Muhammad kepadanya. Kata dia: wahai pamanku, dengarlah kisah yang akan dituturkan anak saudaramu ini.”
                 “Hai anak saudaraku, apakah yang terjadi?” Tanya Waraqah. Setelah Muhammad selesai menceritakan apa yang dialami, Waraqah berkata: “Inilah Namus yang diturunkan kepada Isa. Alangkah baiknya jika aku masih muda dan masih hidup sewaktu engkau diusir oleh kaummu.” Mendengar komentar Waraqah, maka Nabi pun bertanya: “Apakah kaumku akan mengusir aku?”
                   Jawab Waraqah: “Tidak seorang pun yang membawa apa yang kamu bawa itu, yang tidak dimusuhi oleh masyarakatnya. Jika aku masih hidup ketika kamu menjalankan tugas sebagai rasul, pasti akan menolongmu dengan sekuat tenaga yang ada padaku.” Namun tidak lama kemudian Waraqah meninggal dunia, karena usia lanjut.  
Pembahasan Ayat:
                   Dari riwayat ini kita mengetahui bahwa permulaan surat ini merupakan wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah dan awal rahmat yang dicurahkannya. Adapun sambungan surat  ini diturunkan sesudah dikenal luas oleh masyarakat Mekkah  bahwa Muhammad adalah seorang nabi serta beliau mengajak kaumnya di Mekkah untuk beriman kepada Allah dan ada beberapa orang yang mengimaninya yang dikenal dengan sebutan Asabikunal Awalun1. Dan dari riwayat di atas pula makin memperjelas kepada kita bahwa surat tersebut di turunkan di Mekkah sebelum Nabi hijrah.
                   Selanjutnya, menurut para ulama, maksud dari malaikat Jibril memeluk erat nabi Muhammad setelah dia memerintahkan Nabi membaca adalah agar menghilangkan rasa takut dan keraguan dalam hati Nabi Muhammad, karena beliau nantinya akan menjadi penyampai risalah Illahi.
C.    Kajian Tekstual dan Kontekstual
1.       Ayat 1
           Kata Iqra terambil dari kata kerja qaraa  yang pada mulanya berarti menghimpun. Apabila kita merangkai huruf atau kata kemudian Anda mengucapkan rangkaian tersebut maka kita telah menghimpunnya yakni membacanya. Dengan demikian, realisasi perintah tersebut tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain.
           Huruf ba pada kata bismi  ada juga yang memahaminya sebagai berfungsi penyertaan atau mulabasah sehingga dengan demikian ayat tersebut berarti “bacalah disertai dengan nama Tuhanmu.” Sementara itu ulama memahami kalimat bismi rabbika bukan dalam pengertian harfiahnya.  Sudah kebiasaan masyarakat Arab sejak masa jahiliyah, mengaitkan suatu pekerjaan dengan nama sesuatu yang mereka agungkan. Itu member kesan yang baik atau katakanlah berkat terhadap pekerjaan tersebut juga menunjukan bahwa pekerjaan tadi dilakukan semata-mata karena ‘dia’ yang namanya disebutkan itu.
           Kata rabb seakar dengan kata tarbiyah yang berarti pendidikan. Kata ini memiliki arti yang berbeda-beda namun pada akhirnya arti-arti itu mengacu kepada pengembangan, peningkatan, ketingggian, kelebihan serta perbaikan. Kata rabb  maupun tarbiyah berasal dari kata raba-yarbu  yabng dari segi pengertian kebahasaan adalah kelebihan. Dataran tinggi dinamai rabwah, sejenis roti yang dicampur dengan air sehingga membengkak disebut ar-rabw.
           Kata rabb apabila berdiri sendiri maka yang dimaksud adalah ‘Tuhan’ yang tentunya antara lain karena Dialah yang melakukan tarbiyah (pendidikan) yang pada hakikatnya adalah pengembangan, peningkatan serta perbaikan makhluk ciptaan-Nya.
           Menurut Quraish Shihab, penggunaan kata Rabb  dalam ayat ini dan ayat-ayat semacamnya dimaksudkan untuk menjadi dasar perintah mengikhlaskan diri kepada-Nya, sambil menunjuk kewajaran-Nya untuk disembah dan ditaati.2
           Kata khalaqa dari segi pengertian kebahasaan memiliki sekian banyak arti, antara lain; menciptakan (dari tiada), menciptakan (tanpa satu contoh terlebih dahulu), mengukur, memperhalus, mengatur, membuat dsb.  Kata ini biasanya memberikan tekanan tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam penciptaan-Nya. Berbeda dengan kata ja’ala  yang mengandung penekanan terhadap manfaat yang harus atau dapat diperoleh dari sesuatu yang dijadikan itu.
Pembahasan Penafsiran Ayat
           Pada ayat yang pertama, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca guna lebih memantapkan hati beliau. Ayat ke 1 ini bagai menyatakan: bacalah wahyu-wahyu yang sebentar lagi akan banyak engkau terima, dan baca juga alam dan masyarakatmu. Bacalah agar engkau membekali dirimu dengan kekuatan pengetahuan. Bacalah semua itu tapi dengan syarat hal tersebut engkau lakukan dengan atau demi nama Tuhanmu Yang selalu memelihara  dan membimbingmu dan yang mencipta semua makhluk kapan dan dimanapun.
           Dari pernyataan di atas dapat kita ambil inti, bahwa ayat ini memang menjadi wahyu yang pertama dan sebagai pembuka wahyu-wahyu yang selanjutnya. Hal ini tentunya turun sesuai dengan kejadian atau peristiwa yang dialami oleh Rasulullah saw. Selain itu, adanya perintah membaca  kepada Rasulullah sebagai bentuk persiapan dalam menjalankan misi kerasulannya. Adapun yang menjadi objek bacaannya, pada ayat ini tidak dijelaskan apa objek bacaanya. Alasannya adalah karena Allah melalui Rasulullah menghendaki umat islam untuk membaca apa saja selama bacaan itu didasarkan kepada bismi Rabbik, artinya membaca hanya didasarkan pada hati yang ikhlas karena Allah semata. Hal ini mengandung pengertian bahwa objek perintah iqra (membaca) adalah mencangkup segala hal yang dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia (bukan hanya yang bersifat tekstual saja) sehingga dengan membacanya semakin dapat mengembangkan pengetahuan yang ada juga dapat menelurkan ilmu baru serta dapat mendekatkan diri kepada Allah. Jika seandainya objek bacaannya disebutkan di ayat di atas, maka perintah membaca tersebut bukan mencangkup segala hal, tetapi terfokus kepada objek yang disebutkan tersebut. Dengan hal ini tentunya umat islam hanya wajib membaca objek yang disebutkan saja, karena dasar kalimah iqra adalah Amr yang berarti perintah. Dalam kaidah ushul fiqih dijelaskan bahwa "asalnya perintah itu adalah wajib" 
           Kemudian ada sebuah pertanyaan, mengapa perintah tersebut adalah 'iqra (bacalah!), bukan perintah “dengarkanlah!”. Ternyata, dengan membaca menyebabkan manusia lebih banyak melibatkan panca inderanya. Dengan membaca, mata, telinga, hati, dan otak ikut terlibat dalam proses pembelaran, sehingga dengan dasar tersebut ilmu lebih mudah didapat. Sedangkan mendengar, hanya melibatkan satu indera saja, yaitu telinga. Dengan hal ini, jelaslah sudah bahwa membaca lebih unggul dan lebih baik daripada mendengarkan.
                     Para ahli tafsir memiliki beraneka ragam pendapat tentang objek bacaan yang dimaksud. Ada yang berpendapat bahwa yang menjadi objek bacaan itu adalah wahyu-wahyu al-Qur’an, sehingga perintah itu dalam arti bacalah wahyu-wahyu al-Qur’an ketika ia turun nanti. Ada juga yang berpendapat objeknya adalah ismi Rabbika sambil menilai haruf ba yang menyertai kata ismi adalah sisipan sehingga ia berarti bacalah nama Tuhanmu atau berdzikirlah.
           Muhammad Abduh memahami perintah membaca di sini bukan sebagai beban tugas yang harus dilaksanakan secara taklifi, sehingga membutuhkan objek, tetapi ia adalah amr takwini yang mewujudkan kemampuan membaca secara aktual pada diri pribadi Nabi Muhammad saw. pendapat ini dihadang oleh kenyataan bahwa setelah turunnya perintah ini pun Nabi Muhammad masih tetap dinamai Al-Qur’an sebagai seorang yang ummy (tidak pandai membaca dan menulis), di sisi lain jawaban Nabi kepada Jibril ketika itu, tidak mendukung pemahaman tersebut. Syeikh Abdul Halim Mahmud (mantan pemimpin tertinggi al-Azhar Mesir) yang menyatakan bahwa: “Dengan kalimat iqra bismi Rabbik, al-Qur’an tidak sekedar memerintahkan untuk membaca, tetapi ‘membaca’ adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan  “bacalah demi tuhanmu, bergeraklah demi tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu. Demikian juga apabila anda berhenti bergerak atau berhenti melakukan sesuatu aktivitas, maka hendaklah hal tersebut juga didasarkan pada bismi Rabbik sehingga pada akhirnya ayat tersebut berarti ‘jadikanlah seluruh kehidupanmu, wujudmu, dalam cara dan tujuannya, kesemuanya demi karena Allah.

Beberapa Lembaga Pendidikan Sebelum Kebangkitan Madrasah.

1.      Kuttab (Maktab)

           Sebelum Islam datang, sebenarnya orang-orang Arab sudah mengenal lembaga pendidikan dasar, khususnya orang-orang Mekah. Kata Kuttab atau Maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba  yang artinya menulis. Sedangkan pengertian Kuttab atau Maktab adalah tempat menulis atau tempat dimana berlangsungnya kegiatan tulis-menulis untuk mempelajari sesuatu. Sedangkan dalam pengertian para ahli sejarah Kuttab  adalah sebuah lembaga pendidikan dasar yang mengajarkan cara membaca dan menulis  kepada anak-anak ataupun remaja kemudian meningkat kepada pengajaran pemahaman Al-Qur’an dan pengetahuan dasar.
           Dari pengertian di atas, kita dapat memperoleh informasi tentang kuttab, diantaranya:
-       Kuttab adalah lembaga pendidikan dasar yang peserta didiknya adalah anak-anak dan remaja5 Hal ini terjadi setelah Islam lahir.
-       Kuttab adalah lembaga yang mengajarkan cara membaca dan menulis serta mengajarkan al-Qur’an dan pengetahuan dasar.
-       Dalam catatan lain, dikatakan bahwa kuttab merupakan lembaga pendidikan dasar yang sudah lama dikenal oleh orang-orang Arab6.
          Kuttab memegang peranan penting dalam Pendidikan Islam, karena di dalamnya diajarkan cara menulis dan membaca serta memahami Al-Qur’an. Hal ini merupakan sesuatu yang dianggap sangat perlu. Karena Al-Qur’an merupakan wahyu ilahi yang berfungsi sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dan sudah dapat kita bayangkan bahwa seseorang yang sudah memiliki kepahaman terhadap Al-Qur’an adalah sebaik-baiknya orang, karena dia adalah orang yang telah memahami hakikat ilmu pengetahuan.
1.1 Latar Belakang didirikannya Kuttab
          Yang melatarbelakangi didirikannya kuttab adalah sebagai berikut:
1.         Kuttab muncul sebagai lembaga pendidikan dasar yang timbul dari kesadaran perseorangan secara spontan pada masa Islam yang telah lalu. Pendapat ini kemukakan oleh Prof. Khudari Bakhsk yang dikutip oleh Drs. Taqiyudin, M. Pd. Menurut penyusun, jikalau melihat sejarah para shahabat, ada sebuah hadits yang mengatakan  tentang keutamaan mengamalkan dan mengajarkan ilmu. Kemungkinan sahabat-sabahat Nabi terdahulu termotivasi dengan keutamaan tersebut, sehingga mereka mengadakan pembelajaran untuk mengajarkan ilmu-ilmu mereka kepada orang-orang yang tertarik untuk menuntut ilmu disebuah tempat-tempat tertentu, kemudian dari proses tersebut secara tidak langsung terbentuklah sebuah tempat untuk menuntut ilmu-ilmu dasar yang dikenal dengan sebutan Kuttab.
2.         Di zaman Nabi SAW Kuttab didirikan karena semakin banyaknya orang-orang Arab yang tertarik untuk menuntut ilmu agama, termasuk anak-anak.
3.         Adanya kekhawatiran orang dewasa terhadap anak-anak yang akan mengotori masjid, karena sebelumnya di zaman Nabi, masjid menjadi pusat ilmu, dikarenakan  biasanya Nabi menyampaikan wahyu dan ilmu-ilmunya di masjid. Sehingga dengan kekhawatiran tersebut dibangunlah sebuah bangunan lembaga pendidikan di samping Masjid dengan sebutan Al-Kuttan. Pendapat ini di kemukakan oleh Asma Hasan Fahmi di dalam bukunya  Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam7.
          Dalam proses pembelajarannya,  Kuttab hanya  diperuntukan untuk anak-anak dan remaja, karena basisnya adalah pendidikan dasar. Hanya bagaimana cara untuk membedakan  tingkatan antara anak satu dengan yang lainnya? Ternyata sistim yang digunakan adalah sistim tingkatan pemahaman peserta didiknya. Jikalau pemahaman peserta didik sudah dikatakan pantas berada di tingkat tertentu, maka dia pantas untuk naik tingkatan.
Adapun untuk pengajar, semasa khulafaur rasyidin para  pengajar tidak menerima bayaran. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh dua hal, Pertama: Para pengajar tulus mengajarkan ilmunya semata-mata mengharap ridha Allah. Dan Kedua: Karena situasi dan kondisi pada saat itu yang belum stabil.
1.2 Fungsi Kuttab
          Di antara fungsi kuttab adalah sebagai berikut:
·           Kuttab berfungsi sebagai tempat pendidikan yang memfokuskan kepada baca  tulis.
·           Kuttab sebagai tempat pendidikan yang mengajarkan Al-Qur’an dan dasar-dasar keagamaan.
          Hal yang cukup membanggakan dalam kuttab ini ternyata sudah memiliki kurikulum pendidikannya. Hal ini disampaikan oleh Phill K. Hitti yang mengatakan bahwa, kurikulum di kuttab berorientasi kepada  Al-Qur’an sebagai text book. Hal ini mencangkup pengajaran membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa Arab, sejarah dan hadits Nabi.
1.3 Metode-Metode yang Digunakan dalam Kuttab
          Selain itu, pada masa dinasti Abbasiyah sudah menerapkan metode pendidikan dan pengajaran. Metode-metode ini dapat dikelompokan menjadi tiga macam, yaitu:
a)   Metode lisan, yang berupa  dikte, ceramah, qira’at dan diskusi.
b)   Metode menghafal, merupakan ciri umum pendidikan pada masa itu. Dimana metode ini menuntut murid untuk membaca berulang-ulang sehingga pelajaran tersebut melekat di benak mereka.
c)   Metode menulis, dimana siswa dituntun  untuk menulis karya-karya ulama, sehingga terjadi proses intelektualisasi hingga penguasaan ilmu murid semakin meningkat.
Jika kita lihat, metode yang digunakan tersebut ternyata masih berlaku hingga zaman sekarang. Tidak sedikit lembaga pendidikan formal masih mengandalkan metode-metode  di atas dan hasilnya pun dapat  dilihat. Banyak murid yang mencapai pemahaman dari materi yang dipelajarinya. Dengan hal ini menunjukan betapa matangnya para pendidik masa itu, menggunakan metode-metode yang berbeda atau bahkan belum ada di masa sebelumnya. Tentunya semua ini tidak akan ada tanpa bimbingan dan petunjuk Allah yang disampaikan kepada Rasul-Nya , Muhammad.
2.      Masjid
           Kata Masjid berupa bentuk masdar dari kata sajada, yasjudu, sajdan/masjidan, yang berarti tempat sujud. Dalam arti yang luas Masjid dapat diartikan sebagai tempat yang digunakan untuk beribadah dan bermunajat seorang hamba atau sekelompok hamba kepada Allah SWT. Dari fungsi perenungan tersebut, masjid berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan. Masjid dipandang sebagai sebuah tempat yang sangat erat kaitannya dengan sejarah pendidikan Islam, khususnya tentang lembaga pengetahuan Islam.
           Proses yang mengaantar Masjid sebagai pusat dan pengembangan ilmu pengetahuan adalah karena Masjid adalah tempat awal mempelajari ilmu pengetahuan agama yang baru lahir dan mengenal ilmu-ilmu dasar, hukum-hukum dan tujuan-tujuannya. Seluruh kegiatan umat difokuskan di Masjid, termasuk pendidikan. Hal inilah yang menjadi alasan kenapa masjid dikatakan sebagai pusat ilmu pengetahuan.8
           Pada zaman Nabi SAW, Masjid bukan hanya dijadikan tempat atau sarana beribadah kepada Allah saja, tetapi masjid berfungsi sebagai tempat terjadinya proses pendidikan. Disana Nabi sering menyampaikan wahyu yang beliau terima kepada umat dan menjelaskan maksud-maksud yang terkandung dari wahyu tersebut. Selain itu juga, sudah menjadi kebiasaan Nabi ketika selesai melaksanakan shalat, beliau selalu member  kesempatan kepada para sahabat untuk bertanya tentang segala sesuatu yang belum mereka pahami. Sehingga dari sana, timbulah pemahaman kepada para shahabat Nabi tentang ilmu pengetahuan, baik yang bersifat agama maupun ilmu-ilmu yang belum pernah di bahas sebelumnya.
           Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya Masjid merupakan sebagai pusat lembaga pendidikan yang pertama dan utama setelah Islam lahir. Karena dari sanalah berbagai macam pengetahuan timbul, akibat dari  kuliah atau dakwah Nabi tersampaikan kepada  umat. Selain itu, kita dapat menyimak bahwa masjid dikatakan sebagai lembaga pendidikan sebenarnya ada unsur ketidaklangsungan/ketidaksengajaan. Karena pada saat Islam lahir, dan semakin banyaknya orang yang memeluk Islam, mereka semakin tertarik terhadap ajaran-ajaran Islam sehingga belajar langsung kepada Nabi di Masjid. Jadi, intinya masjid dikatakan sebagai lembaga pendidikan didasarkan kepada kebutuhan orang-orang Arab  pada masa itu untuk mempelajari dan memperdalam ajaran Islam.
           Lalu apa yang membedakan Masjid dengan Kuttab dari segi mana yang paling dulu didirikan? Menurut sebagian ahli sejarah, Kuttab sudah dikenal oleh orang-orang Arab sebagai lembaga pendidikan dasar bahkan sebelum Islam lahir. Sedangkan Masjid, di jadikan lembaga pendidikan setelah Islam lahir dan berkembang di Madinah. Dan kita ketahui bahwa Masjid yang pertama di bangun Nabi adalah Masjid Quba. Dan masjid ini menjadi puast pengetahuan Islam pada masa itu. Tetapi jika dilihat dari segi fungsinya sebagai lembaga  pendidikan, maka Masjidlah yang paling pertama. Karena sebelum Islam lahir, masyarakat Arab dikenal dengan bangsa Jahil (Bodoh). Selain itu, telah dikemukakan di atas bahwa Masjid sebagai pusat pengetahuan Islam.
           Tetapi menurut penyusun, Masjidlah yang menjadi lembaga pendidikan pertama dibandingkan Kuttab. Hal ini dikarenakan sebab dasar didirikannya kuttab adalah karena semakin banyaknya orang yang tertarik untuk mempelajari ilmu agama dan adanya kekhawatiran orang dewasa terhadap anak-anak karena mereka belum bisa menjaga kebersihan masjid, sehingga dibangulah sebuah lembaga pendidikan di dekat Masjid untuk anak-anak dan remaja dalam mempelajari ilmu dasar agama. Hal ini mengindkasikan bahwa kuttab adalah bangunan yang didirikan di dekat masjid sebagai sarana menuntut ilmu bagi anak-anak dan remaja sebagai alih fungsi dari masjid karena kekhawatiran di atas. Berarti sebelum Kuttab dibangun, masjidlah yang  lembaga pendidikan pertama sebelum kuttab setelah berkembangnya Islam.
           Perkembangan masjid sangat signifikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Terlebih lagi pada saat masyarakat Islam mengalami kemajuan, urgensi masyarakat Islam terhadap masjid menjadi semakin kompleks. Sehingga menyebabkan karakteristik masjid berkembang menjadi dua, yaitu masjid tempat shalat jum’at atau jami’ dan masjid biasa. Ada perbedaan penting antara jami’ dengan masjid biasa, yaitu masjid jami dikelola di bawah otoritas penguasa atau khalifah dalam mengelola seluruh aktivitas jami’. Seperti kurikulum, tenaga  pengajar, pembiayaan, dan lain-lain. Sementara masjid  jami’ tidak berhubungan dengan kekuasaan. Namun demikian jami’ maupun masjid termasuk lembaga pendidikan setingkat perkuliahan. Hal inilah yang menjadi perbedaan mencolok antara Kuttab dengan masjid.
           Selain itu, kurikulum di Masjid bisanya merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh pejabat-pejabat pemerintah, seperti kadi, khatib, imam masjid dan sebagainya. Melihat keterkaitan antara masjid dengan pemerintahan menujukan bahwa masjid adalah lembaga pendidikan yang bersifat formal.
           Ada tiga Masjid yang menjadi kebanggan dan termasyhur di dunia pendidikan Islam, yaitu:
·      Al-Azhar di Kairo.
Didirikan oleh Panglima Jauhar Al-Sakili. Sebelumnya bernama Al-Qahirah. Disamping sebagai tempat ibadah khususnya shalat jum’at, al-Azhar juga merupakan pusat keilmuan setarap universitas. Kegiatan ilmiah di Al-Azhar bermula dari para fuqaha10  terkenal dan pejabat sering datang ke al-Azhar untuk  mendengarkan ceramah umum dari Abu Hanifah.
·      Masjid Al-Manshur di Baghdad.
    Dibangun oleh Khalifah Al-Manshur dan diperbaiki oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid, kemudian diperluas oleh khalifah al-Mu’adid. Masjid ini sebagai lembaga pendidikan yang mengkaji dan mempelajari hadits, hal ini dilakukan selama berabad-abad. Selain itu juga, ilmu fiqih juga sering menjadi pembahasan di masjid ini, bahkan tidak jarang syair  pun sering menjadi bahasannya.
·      Masjid Al-Umayyah di Damaskus
    Masjid ini tergolong suatu keajaiban dunia. Untuk membangun masjid ini khalifah Walid ibn Abdul Malik telah mengeluarkan biaya hasil tujuh tahun pajak negaranya dan proses pengerjaannya memakan waktu selama 8 tahun. Di masjid ini sering ada halaqah-halaqah, disamping kegiatan-kegiatan diskusi.
3.    Halaqah
            Istilah halaqah (lingkaran) biasanya digunakan untuk menggambarkan sekelompok kecil muslim yang secara rutin mengkaji ajaran Islam. Jumlah peserta dalam kelompok kecil tersebut berkisar antara 3-12 orang. Mereka mengkaji Islam dengan minhaj (kurikulum) tertentu. Di beberapa kalangan, halaqah disebut juga dengan mentoring, ta’lim, pengajian kelompok, tarbiyah atau sebutan lainnya.
            Sesuai dari dasar katanya yaitu liqa, yang berarti lingkaran, halaqah adalah sebuah tempat dimana orang mengajarkan dan mempelajari ilmu-ilmu agama dalam kisaran peserta yang tidak begitu banyak. Dan tsesuai namanya, posisinya membentuk sebuah lingkaran.
            Lembaga pendidikan ini terbentuk karena kesadaran para shahabat Nabi  mempelajari dan mengamalkan Islam secara bersama-sama (amal jama’i). Kesadaran itu muncul setelah mereka bersentuhan dan menerima dakwah dari orang-orang yang telah mengikuti halaqah terlebih dahulu, baik melalui forum-forum umum, seperti tabligh, seminar, pelatihan atau dauroh, maupun karena dakwah interpersonal (dakwah fardiyah).
             Halaqah biasanya dipimpin oleh seorang Murabbi 11 . Murobbi bekerjasama dengan peserta halaqah untuk mencapai tujuan halaqah, yaitu terbentuknya muslim yang Islami dan berkarakter da’i (takwinul syakhsiyah Islamiyah wa da’iyah). Dalam mencapai tujuan tersebut, murobbi berusaha agar peserta hadir secara rutin dalam pertemuan halaqah tanpa merasa jemu dan bosan. Kehadiran peserta secara rutin penting artinya dalam menjaga kekompakkan halaqah agar tetap produktif untuk mencapai tujuannya.
            Pada masanya, halaqah adalah sebuah alternative bagi sebuah pendidikan Islam yang cukup efektif untuk membentuk muslim yang memiliki kepribadian Islami. Hal ini dapat terlihat dari hasil pembinaannya yang berhasil membentuk sekian banyak muslim yang serius mengamalkan Islam. Jumlah mereka makin lama makin banyak seiring semakin bertambahnya jumlah halaqah yang terbentuk di berbagai kalangan.
            Pada masa Islam sudah berkembang, dan semakin banyaknya orang-orang yang tertarik untuk menggali ilmu pengetahuan, maka orang-orang yang berilmu dikala itu secara besar hati memberikan atau membagi pengetahuan mereka kepada muslim lain yang ingin belajar. Keberadaan halaqah ini tidak hanya satu, tetapi terkadang dalam sebuah masjid jami ada beberapa halaqah. Halaqah memiliki peranan yang sangat penting untuk keberadaan umat Islam itu sendiri. Sebab dari sanalah terbentuknya kader-kader Islami melalui sistem pendidikan halaqah, maka di dalam tubuh umat akan lahir orang-orang yang senantiasa berdakwah kepada kebenaran.
            Merebaknya halaqah juga bermanfaat bagi pengembangan pribadi (self development) para pesertanya. Halaqah yang berlangsung secara rutin dengan peserta yang tetap biasanya berlangsung dengan semangat kebersamaan (ukhuwwah Islamiyah). Dengan nuansa semacam itu, peserta belajar bukan hanya tentang nilai-nilai Islam, tapi juga belajar untuk bekerjasama, saling memimpin dan dipimpin, belajar disiplin terhadap aturan yang mereka buat bersama, belajar berdiskusi, menyampaikan ide, belajar mengambil keputusan dan juga belajar berkomunikasi. Semua itu sangat penting bagi kematangan pribadi seseorang untuk mencapai tujuan hidupnya, yakni sukses di dunia dan akhirat.
            Menurut penyususn, umat Islam akan mengalami kerugian yang besar jika sistern halaqah tidak berkembang dan punah. Hal ini karena halaqah merupakan sarana efektif untuk melahirkan kader-kader Islam yang tangguh dan siap berkorban memperjuangkan Islam. Bahkan, mungkin dapat disebut, jika sistern halaqah tumpul dan mandul, maka umat akan mengalami situasi lost generation (kehilangan generasi pelanjut) yang berkarakter Islami.
            Pentingnya mempertahankan sistern halaqah dalam mencetak kader-kader Islam yang tangguh sudah teruji dalam perjalanan panjang kehadiran halaqah di berbagai negara. Apalagi sampai saat ini para mufakir (pemikir) da’wah juga belum dapat menemukan sistem alternatif lain yang sama efektifnya dalam mencetak kader Islam yang tangguh seperti yang telah dihasilkan oleh halaqah. Bahkan yang terjadi sebaliknya, kini semakin banyak para da’i dan ulama yang mendukung tarbiyah mela!ui sistem halaqah. Sebagian dari mereka bahkan menulis buku yang menganalisa kehandalan sistern halaqah/usroh dalam mencetak kader-kader Islam. Termasuk menganalisanya dari sisi syar’i, sejarah dan sunnah Rasul, Salah seorang pemikir da’wah, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, mengemukan pendapatnya tentang sistern halaqah yang tak tergantikan: “Tarbiyah melalui sistern halaqoh merupakan tarbiyah yang sesungguhnya dan tak tergantikan, karena dalam sistem halaqoh inilah didapatkan kearifan, kejelian dan langsung di bawah asuhan seorang murobbi yang ia adalah pemimpin halaqoh itu sendiri. Sedang program-programnya bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya yang diatur dengan jadwal yang sudah dikaji sebelumnya".
4.    Majelis
           Menurut akar katanya, istilah majelis tersusun dari gabungan dua kata : majlis yang berarti (tempat) sedangkan kita mendengar kata majelis sering diiringi dengan kata taklim yang berarti (pengajaran) yang berarti tempat pengajaran atau pengajian bagi orang-orang yang ingin mendalami ajaran-ajaran Islam sebagai sarana dakwah dan pengajaran agama.
           Istilah Manjelis dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama  Islam. Pada perkembangan berikutnya, disaat dunia Islam mencapai macam keemasan, majelis di artikan sebagai aktivitas pengajaran atau diskusi berlangsung. Dan seiring perkembangan pengetahuan Islam, majelis menjadi banyak ragamnya. Munirudin Ahmed, Majelis dibedakan menjadi 7 macam:
4.1.   Majelis Hadits, dalam majelis ini terdapat dua macam, yaitu majelis  permanen dan majelis yang diselenggarakan sewaktu-waktu. Majelis permanen biasanya dilakukan oleh seorang ulama ahli hadits dalam jangka waktu yang sudah jelas atau sudah rutin dilaksanakan. Sedangkan majelis yang bersifat semi permanen diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya dilakukan sekali atau dua kali dalam waktu setahun oleh ulama yang bukan ahli dalam bidang hadits.
4.2.  Majelis Tadris, yaitu majelis yang mengajarkan tentang tadris.
4.3.  Majelis Al-Munazharah, merupakan sebuah majelis pertemuan perdebatan, bukan semacam lembaga pendidikan. Majelis ini dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya:
·         Majelis Al Munazharah yang diselenggarakan atas perintah khalifah.
·         Majelis Al Munazharah yang bersifat educarif, yang dilakukan secara kontiyu, dan biasanya dilaksanakan setelah proses belajar mengajar dan lebih mirip dengan metode tanya jawab atau diskusi.
·         Majelis Al Munazharah yang bersifat spontan atau diselenggarakan secara tidak sengaja. Semisal bertemuanya dua orang ulama di tengah jalan, kemudian terjadi tukar pendapat, sehingga tanpa disengaja terjadi majelis ini.
·         Majelis Al Munazharah yang bersifat forum terbuka antara beberapa ulama. Majelis ini biasanya terdiri dari perkumpulan beberapa ulama. Yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah dan menentukan siapa yang dapat menjatuhkan lawannya dengan mengemukakan argument yang luas.
4.4.  Majelis Al-Muzakarah, majelis ini bisa dikatakan sebagai majelis yang dihasilkan sebagai sebuah inovasi dari para murid. Awalnya, ulama-ulama hadits mendiskusikan hadits  di tempat terbuka. Para ulama mengizinkan para murid untuk bertanya atau member saran mengenai topic yang ingin dibahas. Kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah lembaga. Inti materi yang dibahas dari majelis ini adalah  tentang hadits, seperti membahas sanad hadits, membahas hadits dalam bidang yang lebih spesifik, pembahasan pengelompokan hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat Nabi ataupun hadits yang diriwayatkan oleh para ulama. Kemudian ada juga yang membahas tentang hadits yang dhaif, rangkaian perawai hadits, dan yang terakhir membahas segi musnad.
4.5.  Majelis Asy-Syu’ara, sesuai dengan namanya Syu’ara yang berarti syair. Majelis ini adalah majelis yang mengkhususkan untuk belajar syair yang bertujuan untuk belajar bahasa. Memang  menurut pendapat saya (penyusun) tiada yang dapat dibanggakan pada syair-syair yang dibuat, tetapi  di mata orang-orang Arab, syair memiliki nilai tersendiri.
4.6.  Majelis Adab, bagi bangsa Arab adab mencangkup tiga  pembahasan, yaitu puisi, silsilah dan laporan bersejarah bagi orang-orang terkenal. Majelis ini membahas tentang  ketiga hal di atas, walaupun terkesan seperti perbincangan daripada tempat belajar.
4.7.  Majelis Al-Fatwa, majelis ini bisa dikatakan sebagai majelis fiqih, karena di dalamnya mengajarkan ilmu fiqih. Majelis ini bertujuan untuk mencari kesepakatan dari beberapa masalah yang dibahas, kemudian kesepakatan tersebut difatwakan yang diperkuat dengan syariat atau hukum.
           Rasulullah ketika menyampaikan dakwahnya kepada para sahabatnya sering membenuk majelis-majelis. Majelis tersebut biasanya memang bisa  bertempat dimana saja, terkadang Rasulullah melakukannya setelah selesai melaksanakan shalat, atau di tempat yang berbeda. Terkadang majelis tersebut terbentuk secara spontanitas, contohnya ketika Rasulullah sedang duduk kemudian ada seorang sahabat yang bertanya kepada beliau tentang suatu hal, lalu rasulullah menerangkan maslah tersebut, kemudian dari penerangan tersebut munculah pertanyaan baru dari para sahabat. Proses tersebut bisa dikatakan sebuah majelis. Karena terjadi proses transfer ilmu antara Rasulullah dengan para Sahabat.
           Selain itu ada factor yang memotivasi para sahabat untuk membentuk dan menghadiri majelis   ilmu. Yaitu dimana disuatu tempat ada majelis ilmu, maka para Malaikat akan mendoakan orang-orang yang hadir dalam majelis tersebut untuk memohonkan ampun  kepada Allah. Sehingga timbulah semangat para shahabat untuk selalu berada di majelis dan berusaha untuk melestarikannya. Hal ini terbukti dengan keberadaannya majelis ilmu hingga zaman sekarang.