Rabu, 13 Juli 2011

 2. Ayat Ke 2

            Kata Al-Insan/manusia terambil dari akar kata uns yang berarti senang, jinak dan harmonis, atau dari kata nis-y yang berarti lupa. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata naus yakni gerak atau dinamika.
           Makna-makna di atas paling tidak memberikan gambaran sepintas tentang potensi atau sifat makhluk tersebut yakni bahwa dia memiliki sifat lupa, dan kemampuan bergerak yang melahirkan dinamika. Ia juga adalah makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang, harmonisme dan kebahagiaan kepada pihak-pihak lain.
           Kata insan menggambarkan manusia dengan berbagai keragaman sifatnya. Kata ini berbeda dengan kata basyar yang juga diterjemahkan dengan ‘manusia’ tetapi maknanya lebih banyak mengacu kepada manusia dari segi fisik serta nalurinya yang tidak berbeda antara seorang manusia dengan manusia lain.
           Kata ‘alaq dalam kamus-kamus bahasa Arab digunakan dalam arti segumpal darah, juga dalam arti cacing yang terdapat di dalam air bila diminum oleh binatang maka dia akan tersangkut di kerongkongannya. Banyak ulama masa lampau memahami ayat ini dengan pengertian pertama. Tetapi ada pula yang memahaminya sebagai sesuatu yang menggantung di dinding rahim. Ini karena pakar embriologi melihat bahwa setelah sperma membuahi ovum ia berproses dan membelah dua, kemudian empat, kemudian delapan dan seterusnya sambil bergerak menuju kantong kehamilan dan melekat berdempet serta masuk ke dinding rahim.
Pemabahasan Penafsiran Ayat   
           Ayat ini menyatakan memperkenalkan Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad saw. Dia adalah Tuhan yang telah menciptakan manusia yakni semua manusia (kecuali Adam dan Hawa) dari segumpal darah atau sesuatu yang disebut ‘alaq. Adapun untuk proses penciptaan manusia kita bisa merujuk kepada surat Al-Mu’minun ayat 12 – 14.

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah (12). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (13). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging. Dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang berbentuk lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang apling baik. (14). 
            Dalam surat at-Tin dikatakan bahwa Manusia adalah makhluk yang memiliki rupa atau wujud yang paling baik:

“Dan  kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya bentuk”
           Manusia adalah makhluk pertama yang disebut Allah dalam Al-Qur’an melalui wahyu pertama. Bukan saja ia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, atau karena segala sesuatu yang diciptakan di alam raya ini diperuntukan olehnya, tetapi juga karena Al-Qur’an ditujukan kepada manusia guna menjadi pelita kehidupannya. Salah satu cara yang ditempuh oleh al-qur’an untuk mengantar manusia menghayati petunjuk-petunjuk Allah adalah memperkenalkan jati diri diri-Nya antara lain dengan menguraikan proses kejadiannya. Ayat kedua surat ini menguraikan kejadin tersebut secara singkat.
           Pengulangan kata Khalaqa pada ayat kedua ini menunjukan penyempurnaan pada ayat pertama. Pada ayat pertama disebutkan bahwa “…. Dengan menyebut nama Tuhanmu yang Maha Pencipta”. Jikalau kita tinjau, ayat pertama menunjukan masih dapat menimbulkan pertanyaan atau rasa penasaran. Jika diuraikan “…. Dengan menyebut nama Tuhanmu yang Maha Pencipta”, maka pertanyaannya adalah apa yang diciptakannya itu?. Maka fungsi dari kata khalaqa ini adalah sebagai penjawab (penyempurna) dari kekurangan atas pertanyaan dari ayat pertama.
           Dalam memperkenalkan perbuatan-perbuatan-Nya, penciptaan merupakan hal pertama yang diperlihatkan oleh Tuhan kepada manusia sebagai bukti keberadaan-Nya. Disini peran akal diperlukan, sebagai makhluk yang diberi anugerah akal, seorang manusia dituntut melalui akalnya untuk bisa mencari siapa yang menciptakan semua makhluk. Apabila akal sudah meyakini bahwa segalanya ada yang mengatur, maka peran hati sebagai wadah iman mensyahadahkan atau membenarkan bahwa semua makhluk ada yang menciptakannya. Perlu digarisbawahi bahwa pengenalan tersebut bukan hanya tertuju kepada akal manusia saja, tetapi juga kepada kesadaran batin dan intitusinya bahkan seluruh totalitas kehidupan manusia6, karena pengenalan akal semata-mata tidak berarti banyak. Sementara pengenalan hati diharapkan dapat membimbing akal dan pikiran sehingga anggota tubuh dapat menghasilkan perbuatan-perbuatan baik serta memelihara sifat-sifat terpuji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar